Friday, January 13, 2012

Sebuah Catatan Perjalanan Yang Tak Diharapkan: Kedung Ombo

01.10.2011

Sebuah catatan perjalanan yang tak diharapkan dan tak ingin terhapuskan bersama Benot, menuju ke dinginnya alam liar.



Bab 1: Perjanjian Lama
08:00 - Sampai di palang joglo diantar Ria, menanti bus ¾ arah gemolong.
08:15 - Di dalam bus Karno Putro, menuju ke perempatan Gemolong.
Cek terakhir barang bawaan:
· Kamera saku
· Buku dan bolpoin
· HP (mati)
· 2 botol air minum
· Kaca mata
· Selimut
· Celana pendek
· Uang 20rb
Tas selalu berada di depan dada, menghindari pencopetan yang sering terjadi di dalam bus jurusan Solo-Gemolong yang terkenal nekat dan tak pandang bulu.

08:45 - Sampai di perempatan Gemolong. Cuaca mendung berawan, menunggu kedatangan benot di pojokan took kelontong bersama tukang ojek sekitar.
09:05 - Benot datang. Membunuh HP, memancung jam tangan, saatnya bebas dari teknologi modern.
Kami tidak mengenal waktu, hanya tahu matahari terus bersinar dan semakin condong ke barat.

Bab 2: Mari Kita Berjalan
Kami berjalan menuju Kedung Ombo, ke arah barat mengikuti kemana matahari bergerak.
Belum mendapat tumpangan, walau setiap tiap truk dan mobil pickup yang kami stop tidak ada yang mau berhenti. Berjalan lagi.
Sampai di suatu sudut jalan, teronggok sebuah bus tanpa roda, mengingatkan kami dengan “magic bus”-nya Into The Wild.


Setelah berjalan lagi beberapa kilometer, kami mendapatkan tumpangan sebuah truk berisi penuh muatan pasir. Dengan senang hati kami langsung melompat ke atas truk. Jalanan panjang dan berliku. Tidak bisa membayangkan jika kami harus terus berjalan menyusuri rute ini.


Setelah beberapa lama, truk berhenti di pinggir jalan, sopir hendak mendinginkan ban yang mulai panas akibat tekanan dari muatan yang hampir overload.
Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki lagi.
Di tengah perjalanan, Benot mengganti pakaiannya dengan kaos bertuliskan: “17 OF HIGHEST PEAKS IN NORTH AMERICA ARE IN ALASKA” ya, mengingatkanku lagi dengan Into The Wild, ALASKA!
Sampai di persimpangan menuju Kedung Ombo. Terpampang plakat bertuliskan “Kedung Ombo” yang sudah berkarat dan usang, seakan-akan menggambarkan kepiluan objek wisata yang sudah dianggap kuno itu.
Jalan masuk ke arah Kedung Ombo sudah berbeda dengan jalan yang kami lewati sebelumnya. Lebih sempit dan sedikit tak terawat.




Panas semakin menyengat, keringat mulai membasahi sekujur tubuh.
Kami terus berjalan, sembari mencari tumpangan lagi. Di sepanjang perjalanan banyak terdapat perkebunan jagung yang siap panen, kami sempatkan untuk mengunduhnya beberapa untuk bekal.
Mendapatkan tumpangan, sebuah truk lagi, tapi tanpa muatan. Kami menumpang di dalam bak pasir kosong. Jalan masih panjang dan lebih berliku daripada rute sebelumnya.

Bab 3: Rumah Baru









Truk berhenti di suatu tempat, sebuah gudang pasir. Kami turun, melanjutkan perjalanan lagi. Kedung Ombo sudah mulai tampak.
Kami beristirahat sejenak di hutan sekitar, masuk 300 meter dari jalan tadi.
Setelah cukup istirahatnya, kami berbalik arah ke jalan, hendak membeli makanan secukupnya untuk dibawa masuk ke danau. Hanya terdapat 1 warung makan di sekitar sini.
Masuk kembali ke hutan, lebih dalam, ke arah danau.
Pasir, semak belukar, angin, menyatu menebar hawa petualangan.

Ada sesuatu yang menarik perhatian di depan, masih tampak samar-samar tertutup pepohonan. Ternyata adalah sebuah gubuk kecil usang tak berpenghuni, terletak persis di tepi danau.
Kami mendekat dan membersihkan gubuk. Sangat nyaman berada di dalam gubuk seraya
menikmati pemandangan danau di depan mata. Air danau nampak berwarna hijau kebiruan, semakin mendekat, warna air danau ini semakin indah.

Saat ini kami berada jauh dari peradaban modern yang menjemukan, sangat nikmat menghirup udara segar tanpa polusi karbon dioksida, mendengarkan suara burung tanpa kebisingan deru mobil kota, dan melihat langit biru tanpa rentetan gedung dusta.
Sangat beruntung ada 2 hal menarik di sekitar sini, pertama gubuk, dan yang kedua adalah rakit. Kami beranjak ke rakit yang berada di tengah danau, dengan 2 batang bambu sebagai jempatan menuju ke tengah. Sensasi angin danau yang liar mulai terasa ketika berada di atas rakit ini.
Matahari semakin condong ke barat, sinarnya mulai menguning.
Meninggalkan gubuk.
Saatnya mencari kayu bakar, jagung dan keong untuk hiburan nanti malam.
Tak terasa gubuk telah kami tinggalkan jauh, tak dapat terlihat, tertutup bukit-bukit.
Matahari semakin condong ke barat, tapi lagit tak nampak menguning.








Terjebak Semak berduri!
Terlihat di kejauhan, para nelayan sedang menjaring ikan dengan perahu kecil. Tujuan berikutnya: berburu perahu!
Berputar, naik-turun bukit, menerobos semak belukar, hutan, lumpur. Dan sampai akhirnya kami tidak tahu sedang berada dimana.
Menemukan sebuah perahu kosong, sayang setelah bertemu dengan si empunya perahu, dia tidak memperbolehkan kami untuk memakai perahunya, dengan alasan keamanan karena hari sudah mulai gelap dan angin semakin kencang. Tapi usaha kami mencari perahu tidak sia-sia, si empunya perahu menukar perahunya dengan seikat ketela matang.


Langit semakin pucat dan angin mengencang. Tujuan berikutnya: mencari gubuk pengganti.
Sampai di gubuk kedua, dengan kondisi gubuk dan lingkungan sekitar yang lebih beruk. Masalah berikutnya: kekurangan air minum.
Meninggalkan gubuk kedua, bergegas mencari air minum di rumah warga sekitar. Kami berjalan semakin cepat untuk mengejar waktu. Kamera sudah masuk ke dalam tas, sudah tidak memungkinkan untuk mengambil foto untuk perjalanan kami berikutnya karena situasi lingkungan yang gelap dan kondisi kami yang hanya berkonsentrasi pada air minum dan tempat bermalam.
Langit semakin menghitam, kami masih berjalan dan belum menemukan rumah penduduk. Kami sedang berjalan di jalan aspal, menuju ke sebuah cahaya kuning jauh di depan. Sampai di komplek PLTA, cahaya kuning semakin jelas terlihat, ternyata sebuah perkampungan kecil. Sampai di perkampungan itu, mendapatkan air, dan beristirahat sejenak disitu. Hari sudah benar-benar gelap. Angan-angan untuk bermalam di tepi danau beratapkan gubuk sudah hilang, sudah tidak memungkinkan untuk kami kembali ke gubuk terakhir karena jarak yang cukup jauh dan juga kami tidak memiliki lampu penerangan sama sekali. Kesalahan yang sangat krusial, tidak membawa lampu senter! Tujuan berikutnya: mencari tempat untuk bermalam.
Meninggalkan perkampungan, berjalan menuju ke kegelapan. Angin malam, keringat dingin, dan nyamuk, terasa lengket di sekujur tubuh. Angin semakin kencang berhembus, menghasilkan suara aneh seperti hujan deras di sekitar hutan ini.
Bertemu degan sebuah portal, ternyata sebuah portal menuju objek wisata Kedung Ombo. Observasi!
Kami masuk, dan menemui suasana yang sangat hening dan kosong, tak menemukan kehidupan sama sekali, bahkan hewan malam pun tak kami temui disini. Sungguh ironis, tempat sebesar ini tidak ada orang yang menjaganya. Kami merasa seperti berada di “taman mati”.
Sampai di ujung dari objek wisata, dan ternyata adalah sebuah dermaga. Disini angin sangat kencang berhembus karena sama sekali tidak ada pepohonan yang menghalangi angin dari danau. Banyak hal ganjil yang kami rasakan disini yang tidak bisa saya jelaskan lewat tulisan ini. Kami putuskan untuk segera meninggalkan dermaga, dan keluar dari komplek taman mati ini.

Bab 4: Refleksi Diri
Berbalik arah menuju ke perkampungan terakhir. Kami sadar bahwa kami adalah 2 orang yang tersesat dan kebingungan.
Sampai di perkampungan, kami menemui sebuah warung yang masih buka. Es teh akan membantu kami untuk kembali semangat. Dan ini adalah es teh tersegar yang pernah kami minum!
Menemukan sebuah pos ronda kosong, ber-“jackpot”, mungkin bekas pesta mabuk semalam.
Disini kami berpikir untuk kembali ke gemolong. Tapi sudah tidak memungkinkan untuk itu. Putus asa!
Di sela keputus-asaan kami, sekali lagi kami menemukan keajaiban. Truk melintas!
Berbalik arah menuju gemolong lagi dengan rasa kegagalan, tapi setidaknya kami mendapatkan pengalaman berharga dari perjalanan ini. Kurang persiapan fisik dan peralatan bertahan hidup adalah faktor utama dari kegagalan ini.
Kegelapan, nganga bara api dalam tungku, dan suara berisik tak teratur atap-atap seng yang beradu dengan angin kencang malam itu adalah mimpi buruk yang indah, sekarang.
See you wildlife!

6 comments:

  1. aaanjisss keren banget mas :D
    I must try sumthing like ths sooon!!!!

    ReplyDelete
  2. Wah jadi ingat Into the Wild!! nggak ngajak ngajak ah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. yoi Supertramp! makanya buruan ke Jakarta lor, kita habisi kota ini.

      Delete
  3. mampiro omahku mas.omahku cedak konokui

    ReplyDelete
  4. Wuih... Mantap greg.. koe nyet berbakat tnan dadi penulis kitab... :D

    ReplyDelete